Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Teori atau Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Indonesia

Teori atau Sistem  Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Indonesia
Teori atau Sistem  Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Indonesia

Teori dan sistem pembuktian dalam hukum acara pidana sangat penting bagi hakim untuk menentukan apakah seorang terdakawa terbukti bersalah atau tidak. Apabila hakim tidak memperhatikan dengan baik, maka akibatnya seorang terdakwa yang tidak bersalah akan menerima penderitaan yaitu pidana.

Proses pembuktian dalam hukum acara pidana sangatlah penting, mengingat pembuktian dalam hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materil bukan hanya sebatas kebenaran formil dalam hukum acara perdata. Hakim dalam pembuktian perkara pidana harus bersifat aktif agar hakim menemukan kebenaran yang sesungguhnya, hakim tidak boleh hanya sebatas menyesuaikan perbuatan terdakawa denan bunyi perundang-undangan karena itu dapat merugikan terdakwa.

Pengertian Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana

Kata pembuktian berasal dari kata bukti yang artinya yaitu “sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa”, lalu memiliki awalan pem dan akhiran an. Maka pembuktian artinya adalah “proses perbuatan, cara membuktikan sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu periswa.[1]

Menurut Martiman Prodjohamidjojo sebagaimana dikutip oleh Erdianto Effendi, “pembuktian adalah maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.[2]

Adapun menurut Sudikno Mertokusumo sebagaimana dikutip  Erdianto Effendi, “pembuktian adalah upaya untuk memberi dasar-dasar yang cukup pada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa hukum yang diajukan tersebut.[3]

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa pengertian pembuktian dalam hukum acara pidana adalah suatu proses yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan untuk membuktikan apakah suatu perbuatan pidana benar telah terjadi dan apakah perbuatan pidana tersbut dapat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa di persidangan.

Tujuan Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana

Tujuan pembuktian dalam hukum acara pidana adalah untuk dijadikan dasar dalam menjatuhkan putusan hakim kepada terdakwa tentang bersalah atau tidaknya sebagaimana yang telah didakwakan oleh penuntut umum.[4]

Adapun tujuan pembuktian menurut Martiman, adalah untuk memberikan gambaran berkaitan tentang kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dari peristiwa tersebut dapat diperoleh kebenaran yang dapat diterima oleh akal.[5]

Dengan demikian, tujuan pembuktian adalah untuk membuktikan apakah perbuatan terdakwa merupakan perbuatan pidana sehingga dapat diterima oleh akal dan hakim dapat menjatuhkan putusannya berdasarkan pembuktian tersebut.

Namun, tidak semua harus dibuktikan, karena menurut Pasal 184 ayat (2) KUHAP, “hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan”.

Asas-Asas atau Prinsip-Prinsip Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana

Dalam pembuktian terdapat asas-asas yang perlu dipehatikan oleh para penegak hukum dalam menegakkan hukum acara pidana. Sehingga, proses pembuktian dapat memberikan keadilan bagi semua pihak. Berikut adalah asas-asas pembuktian dalam hukum acara pidana:[6]

1. Due proces of law

Berarti seperangkat prosedur yang diisyaratkan oleh hukum sebagai standar beracara yang berlaku umum dan pada prinsipnya menguji dua hal, yaitu pertama apakah penuntu umum telah menghilangkan kehidupan, kebebasan, dan hak milik tersangka tanpa prosedur. Kedua, jika menggunakan prosedur, apakah prosedur yang ditempuh telah sesuai dengan due process.

Yang pada intinya, asas ini menginginkan agar segala sesuatu yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku.

2. Presumtion of innocent

Asas ini berarti adalah suatu asas yang menghendaki  agar seseorang dianggap tidak bersalah sampai ada putusan hakim yang mengikat dan menyatakan bahwa orang tersebut bersalah. Hal ini berguna untuk melindungi hak-hak seseorang agar jangan sampai orang yang tidak bersalah dilanggar hak-haknya.

Namun, bagaimana mana dengan aparat penegak hukum?, apakah mereka yang menangani perkara pidana menggangap seseorang tersebut bersalah atau tidak?.

3. Legalitas

Asas legalitas adalah suatu asas yang menyatakan bahwa suatu pidana tidak ada tanpa terlebih dahulu diatur oleh peraturan perundang-undangan pidana.

4. Adversary system

Yaitu para pihak yang berlawanan mengajukan bukti-bukti dalam persidangan dalam usahanya untuk mendaptkan putusan yang menguntungkan pihaknya.

5. Clear and convincing evidence

Yaitu batas minimal bukti dan kekuatan pembuktian. Dalam hukum acara pidana Indonesia, batas minimal alat bukti adalah dua dan dengan kayakinan hakim.

6. Beyond resonable doubt

Dalam pengambilan putusan yang menyatakan bahwa terdakwa bersalah, juri atau hakim harus dapat diyakinkan tanpa keraguan dan masuk akal bahwa terdakwa bersalah untuk kejahatan yang dituduhkan kepadanya.

7. Actori in cumbit onus probandi

Yang artinya siapa yang menuntu dialah yang membuktikan. Namun, dalam perkembangan hukum pidana, kita juga mengenal pembuktian terbalik yang biasanya digunakan dalam perkara korupsi.

8. Actus dei nemini facit injuriam

Tidak seorang pun dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian akibat kecelakaan yang tidak dapat dihindari.

9. Negativa non sunt probanda

Membuktikans esuatu yang negatif sangatlah sulit, sehingga beban pembuktian dalam hukum acara pidana dibebankan pada penuntut umum.

10. Unus testis nulus testis

Seorang saksi bukanlah saksi. Dalam hukum acara pidana minimal ada dua orang saksi apabila tidak disertai alat bukti yang sah lainnya.

11. Unlawful legal evidence

Perolehan bukti yang tidak sah akan menggugurkan perkara yang berkaitan dengan cara mengumpulkan dan memperoleh serta menyampaikan bukti di dalam persidangan. Sehingga, bukti yang diperleh dengan cara melanggar hukum dianggap tidak sah.

12. Audi et alteram parte

Dalam mengadili suatu perkara hakim harus mendengar kedua belah pihak. Halini bertujuan agar hakim dapat menjatuhkan putusan yang objektif dan berimbang. Asas ini berlaku untuk setiap hukum acara.

Pihak yang Mengajukan Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana

Dalam hukum acara pidana yang berhak mengajukan pembuktian adalah penuntut umum dan terdakwa atau penasehat hukumnya.

Penutut umum mengajukan pembuktian dengan tujuan untuk membuktikan dakwaannya. Terdakwa atau penasehat hukum bertujuan untuk meringankan dan membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.[7]

Sistem atau Teori Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana

1. Positif Wettelijk Bewijs Theorie (Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif)

Teori ini dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan hanya kepada undang-undang saja, artinya jika suatu perbuatan telah terbukti sesuai dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan lagi. Sistem pembutian ini juga disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheori).[8]

Menurut Wirjono Prodjodikoro sebagaiman dikutip Oleh Andi Sofyan dan Abd. Asis, menyatakan bahwa “teori ini sudah selakyaknya tidak dianut lagi di Indonesia, kerena katanya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan kayakinan masyarakat”.

Penulis pun sependapat dengan pendapat Wirjono, hal ini karena dalam pembutian suatu perkara pidana, harus ada keyakinan hakim untuk memutuskan bahwa terdakwa bersalah atau tidak bersalah. Hal in juga sesuai dengan adegium yang menyatakan bahwa “lebih baik melepaskan seribu orang berasalah daripada menghukum satu orang tidak bersalah”.

Akan tetapi lain hal jika teori atau sistem pembuktian ini dalam perkara perdata. Dalam perkara perdata yang mencari kebenaran formil maka teori pembuktian inilah yang digunakan. Dimana hakim hanya berpatokan pada perundangan-undangan dan bukti-bukti yang disampaikan oleh para pihak di persidangan.

2. Conviction Intime (Berdasar Kayakinan Hakim)

Conviction intime adalah suatu sistem atau teori pembuktian yang berdasarkan keyakinan hakim semata. Artinya dalam menjatuhkan putusannya hakim tidak terikat pada alat-alat bukti yang ada, hakim hanya berpedoman pada keyakinannya yaitu apakah hakim yakin terdakwa bersalah atau tidak bersalah terhadap dakwan yang ditujukan kepada terdakwa.

Kelemahan dari teori ini adalah tidak adanya kepastian dalam menjatuhkan putusan oleh hakim. Putusan lebih terkesan subjektif daripada objektif, sehingga dapat memberikan kesan kepercayaan yang terlalu berlebihan kepada hakim.

3. Conviction in raisone (Berdasar Keyakinan Hakim atas Alasan yang Rasional)

Sistem pembuktian berdasarkan kayakinan hakim atas alasan yang rasional adalah ssitem pembuktian yang berdasarkan kayakinan hakim dengan alasan yang rasional. Dalam sistem pembuktian ini tetap menggunakan alat-alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang akan tetapi lebih mengumakan keyakinan hakim.

Dalam sistem ini, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang, hakim dapat menyampingkannya dengan alasan yang rasional atau masuk akal. Hakim tidak semata-mata hanya mendasarkan pada keyakinan semata namun juga harus memberikan alasan yang rasional.

Perbedaan antara conviction in raisone dan conviction intime adalah dalam convition in raisone hakim mendasarkan putusannya berdasarkan keyakinannya akan tetapi harus memberikan alasan yang rasional atau masuk akal. Sementara itu, dalam conviction intime hakim tidak memiliki beban untuk memberikan alasan yang rasional, hakim bebas mendasarkan putusannya pada keyakinannya sendiri.

4. Negative Wettelijk (Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif)

Sistem pembuktian yang berdasarkan undang-undang secara negatif adalah sistem pembuktian yang didasarkan pada alat-alat bukti dan keyakinan hakim. Dalam sistem pembuktian ini, hakim baru boleh manjatuhkan hukuman apabila ada alat bukti dan dengan keyakinan hakim.

Meskipun telah ada alat bukti yang menyatakan terdakwa bersalah, namun apabila hakim masih memiliki keragu-raguan hakim tidak bisa menghukum terdakwa. Begitu juga sebaliknya, apabila hakim memiliki kayakinan bahwa terdakwa bersalah, namun tidak berdasarkan alat bukt yang ada dalam undang-undang, maka hakim tidak bisa menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa.

Hukum acara pidana Indonesia menganut sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. Hal ini dilihat dari Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepad seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh kayakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Referensi:

  1. Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta.
  2. Erdianto Effendi, 2021, Hukum Acara Pidana Prespektif KUHAP dan Peraturan Lainnya, Refika Aditama, Bandung.


[1] Andi Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta: 2014, hlm. 230.
[2] Erdianto Effendi, Hukum Acara Pidana Prespektif KUHAP dan Peraturan Lainnya, Refika Aditama, Bandung: 2021, hlm. 159.
[3] Ibid., hlm. 160.
[4] Andi Sofyan dan Abd. Asis, Op.cit, hlm. 231
[5] Erdianto Effendi, Op.cit, hlm. 160.
[6] Erdianto Effendi, Op.cit, hlm. 165-166.
[7] Erdianto Effendi, Op.cit, hlm. 166.
[8] Andi Sofyan dan Abd. Asis, Op.cit, hlm. 233.

Marinus Lase
Marinus Lase Hai saya Marinus!

Post a Comment for "Teori atau Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Indonesia"