Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Hukum Acara Pidana Di Indonesia

Sejarah Hukum Acara Pidana Di Indonesia

Aksara Hukum – Berikut ini akan dijelaskan mengenai sejarah hukum acara pidana di Indonesia. Sejarah sejarah hukum acara pidana sangat penting untuk melakukan pembaharuan terhadap hukum acara pidana. 


Hukum Acara Pidana Hindia Belanda


Oemar Seno Adji mengatakan bahwa keadaan sekarang merupakan suatu penutup dari keadaan yang lampau, mereka merupakan suatu rangkaian yang tidak terlepas dan tak terpisahkan satu sama lain. Pentingnya melihat sejarah perkembangan dari hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya diakui pula oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Hal ini terlihat dari apa yang dikatakan oleh Beliau dalam Pidato Sambutan dan Pengarahan pada Simposium Sejarah Hukum di Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1975, yaitu: 


“Perbincangan Sejarah Hukum mempunyai arti penting dalam rangka pembinaan hukum nasional, oleh karena usaha pembinaan hukum tidak saja memerlukan bahan-bahan tentang perkembangan hukum masa kini, akan tetapi juga bahan-bahan mengenai perkembangan hukum dari masa lampau”. 


Memang, sejarah hukum pada khususnya maupun sejarah pada umumnya mempunyai peranan yang sangat penting bagi suatu bangsa. Hal ini dikatakan oleh Soedjatmoko sebagai berikut. 


History instruction is an important means of training good citizens and of developing lave and loyalty for noo's country, it is essential to country like Indonesia for the nation building in which its people are all engaged.


Pada tahun 1838, negeri Belanda baru saja melepaskan diri dari penjajahan Prancis, waktu itu golongan legisme, yaitu golongan yang memandang bahwa semua peraturan hukum seharusnya dalam bentuk undang-undang sangat kuat. Di sini berlaku ketentuan bahwa kelaziman- kelaziman bukan merupakan hukum, kecuali bilamana kelaziman tersebut ditunjuk dalam undang-undang (aturan hukum yang terus dan dibuat dengan sengaja).



Menurut van Vollenhoven, sebagaimana dikutip Pettanasse, sebelum itu VOC pada tahun 1747 telah mengatur organisasi peradilan pribumi di pedalaman, yang langsung memikirkan tentang Javaschewetten (undang- undang Jawa). Hal ini diteruskan pula oleh Daendels dan Raffles untuk menyelami hukum adat sepanjang pengetahuannya. Namun, dengan kejadian di negeri Belanda tersebut, maka usaha ini ditangguhkan. 


Sebelum berlakunya perundang-undangan baru di negeri Belanda, Scholten van Oud-Haarlem telah menyatakan kesediaannya untuk mempersiapkan perundang-undangan baru di Hindia Belanda, di samping jabatannya sebagai Presiden Hooggerechtschof. la memangku jabatannya tersebut pada tahun 1837 bersama Mr. Van Vloten dan Mr. P. Mijer, mereka diangkat oleh Gubernur Jenderal deEerens sebagai panitia untuk mempersiapkan perundang-undangan baru itu di Hindia Belanda.


Menurut Lilik Mulyadi, dari aspek historis, sebenarnya titik awal hukum acara pidana periode ini mulai dikenal sejak tahun 1596 sewaktu kapal Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman mendarat di Banten. Kemudian, tahun 1602 dibentuk VOC (Vereenigde Oostindische Compagniel). Pada masa tersebut, untuk orang-orang Belanda diterapkan hukum kapal (Scheepsrecht), terdiri dari hukum Belanda kuno dengan ass-asas Hukum Romawi (Romeinshe Recht) dan kemudian dibuat plakat-plakat, sedangkan untuk orang Indonesia/pribumi diterapkan Hukum Adat (hukum tidak tertulis). 


Dalam perkembangannya, sekitar tahun 1848 di Indonesia dikenal beberapa kodifikasi peraturan hukum acara pidana, yaitu: 

  1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie (R.O. Stb. 1847-23 joStb. 1848-57) yang mengatur mengenai susunan organisasi kehakiman dan kebijaksanaan mengadili; 
  2. Inlandsch Reglement (H.L.R. Sib 1848 Nomor 16) yang mengatur terhadap hukum acara perdata dan hukum acara pidana di depan persidangan “Landraad” bagi mereka yang tergolong penduduk Indonesia dan Timur Asing, dan hanya berlaku bagi daerah Jawa dan Madura diterapkan ketentuan (Rechtsreglement voor de Buitengewesten” (Rbg. Stb. 927-227);
  3. Reglement op de Strafvordering (Stb. 1849 Nomor 63) mengatur ketentuan hukum acara pidana bagi golongan penduduk Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan; 
  4. Landgerechtsreglement (Stb. 1914 Nomor 317 joStb. 1917 Nomor 323) mengatur acara di depan pengadilan Landgerecht dan mengadili perkara-perkara sumir (kecil) untuk semua golongan penduduk.


Dari keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur hukum acara pidana tersebut, I.R. Stb. 1848 Nomor 16 cukup penting eksistensinya. Pada mulanya, ketika dipublikasikan tanggal 3 April 1848, LR. yang disusun Mr. H.L. Wichers dikenal dengan istilah “Reglement op de Uittoefening van de Strafvordering onder de Inlanders en Vreemde Oostelingen op Java en Madura” berlaku sejak tanggal 1 Mei 1848, kemudian disahkan dan dikuatkan dengan Firman Raja tanggal 29 September 1849 Nomor 93, diumumkan dalam Stb. 1849 Nomor 63, yang diperlakukan sebagai hukum acara pidana dan hukum acara perdata bagi golongan Bumiputra untuk daerah Jawa dan Madura. Kemudian, dari konteks di atas menimbulkan pertanyaan: “bagaimanakah penerapan hukum acara pidana dan hukum acara perdata untuk daerah luar Jawa dan Madura?”. Ternyata, untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur terpisah dalam bentuk ordonansi-ordonansi. Tegasnya, hampir tiap daerah mempunyai ordonansi tersendiri untuk mengatur hukum acara pidana dan hukum acara perdata, seperti: 

  1. Ordonansi tanggal 26 Maret 1874 (Stb. 94 b), Gubernur Sumatra Barat; 
  2. Ordonansi tanggal 2 Februari 1880 (Stb. 32), Residen Bengkulu; 
  3. Ordonansi tanggal 25 Januari 1879 (Stb. 65), Residen Lampung: 
  4. Ordonansi tanggal 8 Januari 1878 (Stb. 14), Residen Palembang: 
  5. Ordonansi tanggal 8 Juli 1906 (Stb. 320), Residen Jambi; 
  6. Ordonansi tanggal 21 Februari 1887 (Stb. 45), Residen Sumatra Timur; 
  7. Ordonansi tanggal 14 Maret 1881 (Stb. 82), Residen Aceh; 
  8. Ordonansi tanggal 15 Maret 1882 (Stb. 84), Residen Riau;
  9. Ordonansi tanggal 30 Januari 1874 (Stb, 33), Residen Bangka; 
  10. Ordonansi tanggal 23 Agustus 1889 (Stb. 183), Asisten Residen Belitung; 
  11. Ordonansi tanggal 1 Februari 1883 (Stb. 53), Residen Kalimantan Barat; 
  12. Ordonansi tanggal 5 Maret 1880 (Stb. 55), Residen Kalimantan Selatan dan Timur; 
  13. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb. 27), Residen Manado; 
  14. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb. 22), Gubernur Sulawesi; 
  15. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb. 29), Residen Maluku; 
  16. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb. 32), Residen Ternate; 
  17. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb. 26), Residen Timor; 
  18. Ordonansi tanggal 21 Mei 1882 (Stb. 142), Residen Bali dan Lombok.


Di Hindia Belanda, rancangan peraturan tata peradilan itu diolah lagi oleh J. van der Vinne, Mr. Hoegeveen, Mr. Hultman, dan Mr. Visschers. Pada waktu panitia Scholten di negeri Belanda dibubarkan pada tahun 1845, Mr. H.L. Wichers diangkat oleh Raja sebagai Presiden Hooggerechtshof di Hindia Belanda merangkap komisaris khusus untuk mengatur mulai berlakunya perundang-undangan baru itu.

 

Selanjutnya, Gubernur Jenderal itu menyatakan bahwa jikalau reglemen ini tidak dimaksudkan sebagai perubahan di atas kertas saja, tetapi benar-benar akan dilaksanakan dan dipertahankan, maka hal ini memerlukan pandangan yang jauh, membutuhkan kebijaksanaan dan pimpinan dari pamongpraja. Hal ini akan memakan waktu yang banyak dari mereka, sedangkan mereka sendiri sudah sangat sibuk, Oleh karena itu, Rochussen tidak dapat menyetujui ketentuan dalam rancangan itu yang mengharuskan adanya sidang berkala dua kali seminggu. 


Akhirmya, Gubernur Jenderal tersebut cenderung untuk melihat rancangan itu sebagai suatu percobaan yang diperhitungkan daripada suatu hasil pendapat yang sudah bulat. Dikarenakan rancangan itu nampaknya sangat jauh menyusup ke dalam rumah tangga Bumiputera, yang begitu banyak aneka ragamnya dan berbeda-beda dari daerah ke daerah di Jawa dan Madura, sehingga Gubernur Jenderal beranggapan, manakala nanti dijumpai kesulitan-kesulitan yang ternyata ada penyimpangan yang terlalu luas dalam rancangan tersebut, maka bukan kenyataan-kenyataan itu yang harus disesuaikan dengan reglemen yang bersangkutan, tetapi reglemen itulah yang harus tunduk pada kenyataan-kenyataan tersebut. 


Perlu dikemukakan, Wichers dalam beberapa hal dapat diterima keberatan-keberatan dari Gubernur Jenderal itu dan sehubungan dengan itu, maka diadakan perubahan-perubahan di sana-sini, tetapi pada pokoknya Wichers dapat mempertahankan buah karyanya itu. Akhirnya, diterimalah rancangan itu oleh Gubernur Jenderal dan diumumkan dengan publikasi tanggal 5 April 1848 Stbl. No. 16 dengan sebutan Reglement op de uitoefening van de politic, de Burlijke rechtpleging en de strafvordering onder de Inlanders en Vreemde Oosterlingen op Java en Madura, yang dengan sangat lazimnya disebut Inlandsch Reglement (IR). Inlandsch Reglement ini kemudian disahkan dan dikuatkan dengan Firman Raja tanggal 29 September 1849 No. 93, yang diumumkan dalam Stbl. 1849 No. 63.


Periode Sesudah Proklamasi RI 1945


Secara politik, bangsa Indonesia mengakui lepas dari Belanda pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun, secara hukum nasional, titik awal periode hukum ini dimulai pada Proklamasi 18 Agustus 1945 dengan disahkannya UUD 1945. Pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 disebutkan bahwa, segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang undang ini. Kemudian, untuk mempertegas eksistensi Aturan Peralihan ini, pada tanggal 10 Oktober 1945, Presiden kemudian mengeluarkan suatu Peraturan Nomor 2 yang pada Pasal 1 dan 2 menyebutkan bahwa:

  1. Segala badan-badan Negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar, masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tersebut. 
  2. Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945.


Pada masa ini, sejarah mencatat bahwa mengenai hukum acara dikenal lahirnya 2 (dua) Undang-Undang untuk peradilan umum, yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura serta Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1947 tentang Pemeriksaan Perkara Pidana diluar Hadirnya Terdakwa. Konsekuensi logis dari aspek ini, maka sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947, mengakibatkan dicabutnya peraturan Peradilan Ulangan yang dimuat dalam Osamu Seihi Nomor 1573 tahun 1942 yang diberlakukan pada masa pendudukan bala tentara Jepang. Begitu pula halnya dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1947 telah mencabut dan tidak memberlakukan lagi peraturan pada periode pendudukan Jepang mengenai pemeriksaan di luar hadimya terdakwa yang diatur dalam Osamu Seihi Nomor 1408 tanggal 26 Juni 1944. Apabila diperbandingkan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1947 lebih progresif daripada Osamu Seihi Nomor 1408, karena pada Undang-Undang Nomor 21 tahun 1947 dimungkinkan terdakwa melakukan perlawanan atau verzet dan dilarangnya pemeriksaan di luar hadimya terdakwa dalam perkara tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara maksimal 20 tahun.


Selain itu, apabila diuraikan lebih jauh, pada periode ini untuk hukum acara pidana yang diterapkan pada praktik peradilan cukup variatif, dalam artian diberlakukannya Het Herzien Inlandsch Reglemert (HIR, Stb. 1941 Nomor 44), Reglement op de Buitengewesten (RBg Stn. 1927 Nomor 227), dan Landgerechtsreglement (Stb. 1914 Nomor 317 joSto. 1917 Nomor 323). Kemudian berikutnya, pada susunan peradilan dibentuk pula Hooggerechtshof di Jakarta (Stb. 1947 Nomor 20) yang mana semua putusan baik perdata maupun pidana dari Landgerecht dan Appelraad dapat dimintakan kasasi kepada Hooggerechtshof.


Akan tetapi, hal tersebut tidak berlangsung lama. Dengan dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS), istilah Hooggerechtshof diganti menjadi Mahkamah Agung (Undang Undang Nomor I Tahun 1950; LN 1950 Nomor 30). Kemuadian, Landgerecht dan Appelraad di ganti menjadi Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi (Undang Undang Darurat Nomor 18 Tahun 1950 (LN 1950 Nomor 27) tanggal 18 April 1950. 


Periode Menurut Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 


Sejarah hukum acara pidana di Indonesia pada periode Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 (LN Nomor 9 Tahun 1951), hukum acara pidana mulai terbentuk sejak Negara Kesatuan eksis pada tanggal 17 Agustus 1950 dan sekaligus menghilangkan dualisme struktur pengadilan dan peradilan di Indonesia. Dengan hadirmya undang-undang ini, terciptalah suatu unifikasi hukum untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan, dan acara semua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia dan berdasarkan Pasal 1 telah dihapuskan dan tidak memberlakukan lagi 9 (sembilan) buah badan peradilan yang berlaku pada masa sebelumnya, yaitu:

  1. Mahkamah Justisi di Makassar dan alat Penuntut Umum padanya; 
  2. Appelraad di Makasar; 
  3. Appelraad di Medan; 
  4. segala Pengadilan Negara dan segala Landgerecht (cara baru) dan alat Penuntut Umum padanya; 
  5. segala Pengadilan Kepolisian dan alat Penuntut Umum padanya; 
  6. segala Pengadilan Magistraat (Pengadilan Rendah); 
  7. segala Pengadilan Kabupaten; 
  8. segala Raad Distrik; 
  9. segala Pengadilan Negorij di Maluku. 


Selain itu, dalam perkembangan selanjutnya, secara bertahap akan dihapuskan lagi, mengenai: 

  1. semua Pengadilan Swapraja (Zelbustuur Rechtspraak) dalam Negara Sumatera Timur, Keresidenan Kalimantan Barat, dan Negara Indonesia Timur, kecuali Pengadilan Agama jikalau peradilan tersebut menurut hukum yang hidup (living law) merupakan bagian Pengadilan Swapraja; dan
  2. Semua Pengadilan Adat (Inheemse Rechtspraak in Rechtsreesbestuur gebied, kecuali Pengadilan Agama jikalau peradilan tersebut menurut hukum yang hidup (living law) merupakan bagian Pengadilan adat. 


Di samping terciptanya unifikasi hukum, penerapan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 terhadap ketentuan hukum acara pidana cukup variatif, dan berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang tersebut ditegaskan bahwa untuk acara pidana sipil terhadap semua Pengadilan Negeri dan alat Penuntut Umum dan Pengadilan Tinggi seberapa mungkin diterapkan HIR, diambil sebagai pedoman dengan perubahan dan tambahan. Sedangkan, untuk acara pidana terhadap perkara ringan (rol) diterapkan Landgerechtsreglement (Stb. 1914 Nomor 317 jo Stb. 1917 Nomor 323), dan untuk acara banding diatur dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 20 Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.


Periode Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 


Dalam periode ini, sejarah hukum acara pidana di Indonesia ditinjau dari aspek historis yuridis, Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 (LNRI 1981 Nomor 76, TLNRI Nomor 3209) disahkan pada tanggal 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana atau lazim disingkat dengan istilah KUHAP. Semenjak diberlakukan, dapatlah disebutkan lebih jauh bahwa mulai tanggal 31 Desember 1981 untuk ketentuan hukum acara pidana berlakulah secara tunggal Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981, dan peraturan yang sebelumnya berlaku dinyatakan telah dicabut. Hal ini berdasarkan konsiderans huruf d dan diktum angka 1 dan 2 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang menyatakan, bahwa: 

“hukum acara pidana sebagai yang termuat dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) serta semua peraturan pelaksanaannya dan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya sepanjang hal itu mengenai hukum acara pidana, perlu dicabut, karena sudah tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional”. 


Dari konteks di atas, dapatlah dikatakan bahwa untuk hukum acara pidana telah ada suatu unifikasi hukum karya bangsa Indonesia sendiri, sehingga sewaktu lahirmya KUHAP, undang-undang ini sering disebut sebagai Karya Agung. Terlepas dari adagium bahwa undang-undang (law in book) tertinggal dengan perkembangan masyarakat (law in action), kehadiran KUHAP dirasakan memberikan suatu dimensi kepada adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum (algemene belangen). 


Adapun sejarah hukum acara pidana Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut:

 

Dalam usaha penyusunan hukum acara pidana baru untuk menggantikan hukum acara pidana produk Belanda (IR/HIR) yang telah memakan waktu selama kurang lebih 14 tahun lamanya, yaitu dimulai pada tahun 1967 dengan pembentukan Panitia Intern Departemen Kehakiman untuk menyusun/merancang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), maka pada tahun 1968 diawali dengan Seminar Hukum Nasional II di Semarang yang diselenggarakan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN). yang materi pokok pembahasannya, berintikan Hukum Acara Pidana dan Hak Asasi Manusia dan menghasilkan suatu naskah Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


Pada tahun 1973, konsep-konsep yang telah dikumpulkan oleh Panitia Intern Departemen Kehakiman dengan memperhatikan kesimpulan Seminar Hukum Nasional sebagai bahan untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana itu kembali dimusyawarahkan oleh Panitia Intern tersebut bersama dengan kejaksaan Agung, Departemen Pertahanan dan Keamanan HANKAM), termasuk POLRI dan Departemen Kehakiman. Pada tahun 1974, naskah Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) tersebut setelah disempurnakan, disampaikan oleh Menteri Kehakiman kepada Sekretaris Kabinet, selanjutnya Sekretaris Kabinet meminta lagi pendapat Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung. Departermen Pertahanan dan Keamanan (HANKAM), termasuk POLRI dan Departemen Kehakiman, kemudian naskah Rancangan Undang- Undang Hukum Acara Pidana tersebut dibahas lagi dalam rapat koordinasi antara wakil-wakil dari keempat instansi tersebut.


Pada tahun 1979, diadakanlah pertemuan antara Merteri Kehakiman, Jaksa Agung dan KAPOLRI dan wakil dari Mahkamah Agung untuk membahas beberapa hal yang perlu untuk penyempumaan Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dalam penyusunan Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUUHAP), kecuali memperhatikan hasil-hasil Seminar Hukum Nasional ke-II di Semarang tersebut di atas, juga memperhatikan pendapat ahli hukum lainnya yang tergabung dalam organisasi profesi, seperti Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Persatuan Jaksa Indonesia (Persaja), Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi), dan kegiatan, kongres, rapat kerja, dan lain-lain. 


Akhirnya, pada tanggal 12 September 1979, dengan amanat Presiden RI Soeharto No. R.06/PU/IX/1979, maka Rancangan Undang Undang Hukum Acara Pidana (RUUHAP) diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk dibicarakan dalam Sidang Dewan Perwakilan Rakyat guna mendapatkan persetujuan. Dalam pembahasan naskah Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana antara Pemerintah dan wakil-wakil rakyat di DPR, memakan waktu kurang lebih selama 2 tahun.


Pada tanggal 9 Oktober 1979 dalam pembicaraan tingkat I, Merteri Kehakiman menyampaikan keterangan pemerintah tentang Rancangan Lindang-Undang Hukum Acara Pidana dalam suatu Rapat Paripurna DPR RL Selanjutnya, pada pembicaraan tingkat II, yang dilakukan dalam Sidang Paripurna, fraksi-fraksi dalam DPRD RI memberikan Pemandangan Umum terhadap Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang dilanjutkan dengan jawaban dari Pemerintah. Kemudian, dilanjutkan pada pembicaraan tingkat III, dilakukan dalam sidang Komisi, maka telah diputuskan oleh Badan Musyawarah DPR RI, bahwa pembicaraan tingkat III Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana dilakukan oleh Gabungan Komisi III ditambah I DPR RI. Dalam Sidang Gabungan (SIGAB) III ditambah I DPR RI bersama Pemerintah mulai membicarakan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada tanggal 24 November 1979 sampai 22 Mei 1980 di gedung DPR RI Senayan Jakarta. Dalam pembicaraan jangka waktu tersebut, terbatas pada pembahasan materi secara umum yang menghasikan putusan penting yang terkenal dengan nama “13 kesepakatan pendapat” yang mengandung materi pokok yang akan ditaangkan dalam pasal-pasal Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 


Untuk membicarakan dan merumuskan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana lebih lanjut, dibentuk Tim Sinkronisasi yang aiberi mandat penuh oleh Sidang Gabungan (SIGAB) III ditambah I DPR RI. Tim Sinkronisasi bersama wakil pemerintah mulai melakukan rapat pada tanggal 25 Mei 1980 untuk membicarakan dan merumuskan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Rapat-rapat dilakukan secara maraton. Setelah melakukan tugasnya selama kurang lebih 2 tahun, Tim Sinkronisasi ini berhasil menyelesaikan tugasnya, dan pada tanggal 9 September 1980, Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut disetujui oleh Sidang Gabungan SIGAB) II +1 DPR RI. Akhirnya, pada tanggal 23 September 1981 dengan sidang pleno DPR setelah penyampaian pendapat akhir oleh semua fraksi, dalam Sidang Paripuna telah menyetujui dan mengesahkan RUU-HAP itu menjadi undang-undang, dengan nama “Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana” disingkat KUHAP.


Kemudian, pemerintah pada tanggal 31 Desember 1981 telah mengundangkannya di dalam Lembaran Negara RI Tahun 1981 No. 76, dikenal dengan nama Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 yang dilengkapi dengan penjelasannya. Kemudian, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah RI No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yang termuat dalam Lembaran Negara RI No. 36 Tahun 1983 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 1983. Peraturan pelaksanaan ini juga dilengkapi dengan penjelasan, yang 28 Hukum Acara Pidana termuat dalam Tambahan Lembaran Negara RI No. 3258, dan kemudian dilengkapi dengan Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14.PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP.


Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana hadir untuk menggantikan Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) sebagai payung hukum acara pidana di Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ini disebut sebagai suatu karya agung bangsa indonesia, sebab kitab ini mengatur acara pidana mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, peradilan, acara pemeriksaan, banding di Pengadilan Tinggi, serta kasasi dan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Harus diakui, bahwa kehadiran KUHAP dimaksudkan oleh pembuat undang-undang untuk “mengoreksi” pengalaman praktik peradilan masa lalu yang tidak sejalan dengan penegakan hak asasi manusia di bawah aturan Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR), sekaligus memberi legalisasi hak asasi kepada tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya di dalam proses hukum.


Tak jarang kita mendengar rintihan pengalaman di masa Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR), seperti penangkapan yang berkepanjangan tanpa akhir, penahanan tanpa surat perintah dan tanpa penjelasan kejahatan yang dituduhkan. Demikian juga dengan “pemerasan” pengakuan oleh pemeriksa (verbalisant). Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana telah mengangkat dan menempatkan tersangka atau terdakwa dalam kedudukan yang berderajat, sebagai makhluk Tuhan yang memiliki harkat derajat kemanusiaan yang utuh. Tersangka atau terdakwa telah ditempatkan oleh Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana dalam posisi “his entity and dignity as a human being”, yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan.


Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di Indonesia telah menggariskan aturan yang melekatkan integritas harkat harga diri kepada tersangka atau terdakwa, dengan jalan memberi perisai hak-hak yang sah kepada mereka. Pengakuan hukum yang tegas akan hak asasi yang melekat pada diri mereka merupakan jaminan untuk menghindarkan mereka dari perlakuan sewenang-wenang. Misalnya, Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana telah memberi hak kepada tersangka atau terdakwa untuk segera mendapat pemeriksaan pada tingkat penyidikan maupun putusan yang seadil-adilnya. Selain itu, juga memberi hak untuk memperoleh bantuan hukum pemeriksaan pengadilan.


Demikianlah pembahasan sejarah hukum acara pidana di Indonesia dari berbagai periode.


Referensi:

Erdianto Effendi, 2021, Hukum Acara Pidana Prespektif KUHAP dan Peraturan Lainnya, Refika Aditama, Bandung.

Marinus Lase
Marinus Lase Hai saya Marinus!

Post a Comment for "Sejarah Hukum Acara Pidana Di Indonesia"