Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kesengajaan (Dolus) dan Jenis-Jenis Kesengajaan

Kesengajaan (Dolus) dan Jenis-Jenis Kesengajaan
Kesengajaan (Dolus) dan Jenis-Jenis Kesengajaan

Vos menyatakan bahwa dalam undang- undang (KUHP) kita, kesengajaan tidak didefinisikan, secara umum ajaran kesengajaan tidak ada dalam kitab undang-undang. Definisi kesengajaan terdapat dalam dua teori, yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan.

Menurut sejarahnya teori kehendak atau wilstheorie adalah teori tertua yang dianut oleh von Hippel dari Gottingen, Jerman dan Simons dari Utrecht, Belanda. Sedangkan, teori pengetahuan atau voorstellingstheorie diajarkan oleh Frank, Guru Besar Tubingen, Jerman sekitar tahun 1910. Penganut teori pengetahuan ini antara lain von Listz di Jerman dan van Hamel di Belanda.

Mengenai apa yang dimaksud dengan teori kehendak von Hippel dan teori pengetahuan dari Frank, dalam bukunya Hazewinkel Suringa menyatakan, (Menurut Von Hippel, sengaja adalah akibat yang telah dikehendaki sebagaimana dibayangkan sebagai tujuan. Sedangkan Frank sebaliknya, sengaja dilihat dari akibat yang telah diketahui dan kelakuan mengikuti pengetahuan tersebut).

Demikian juga Pompe yang menyatakan, (teori pengetahuan, kesengajaan berarti kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan undang-undang, sedangkan yang lain adalah teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan dalam undang-undang).

Terkait teori kehendak, Suringa menambahkan, (Teori kehendak: Suatu kelakuan yang menimbulkan akibat-akibat merupakan suatu keharusan tanggung jawabnya, baik akibat yang dikehendaki maupun akibat yang tidak dikchendaki).

Menurut Moeljatno tidak ada perbedaan prinsip antara kedua teori tersebut terkait kesengajaan terhadap unsur-unsur delik. Teori pengetahuan mempunyai gambaran dari apa yang ada dalam kenyataan, sedangkan teori kehendak menyatakan kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik. Kendatipun demikian, Moeljatno sendiri lebih dapat menerima teori pengetahuan daripada teori kehendak dengan alasan bahwa di dalam kehendak untuk melakukan sesuatu sudah ada pengetahuan tentang hal itu, namun tidak sebaliknya, seseorang yang mengetahui belum tentu menghendaki suatu perbuatan.

Kedua teori tersebut dalam praktiknya tidak ada perbedaan yang hakiki. Menurut sejarah pembentukan KUHP (Memorie van Toelichting) di Twee de Kammer (Parlemen Belanda) sebagaimana yang dikutip Pompe, syarat kesengajaan adalah willens en wetens atau menghendaki dan mengetahui. Kedua syarat tersebut bersifat mutlak. Artinya, seseorang dikatakan melakukan suatu perbuatan dengan sengaja, jika perbuatan tersebut dilakukan dengan mengetahui dan menghendaki. Hanya saja si pelaku yang melakukan suatu perbuatan pidana sudah pasti menyadari bahwa akibat dari perbuatan tersebut bisa sesuai dengan kehendak atau tujuannya, maupun tidak sesuai dengan kehendak atau tujuannya. Affectus punitur licet non sequator effectus. Artinya, kesengajaan dapat dihukum walaupun kehendak atau tujuannya tidak tercapai.

Suatu kesengajaan dapat saja terjadi karena salah faham atau kekeliruan. Seseorang dapat saja melakukan perbuatan pidana dengan sengaja karena kekeliruan. Ada empat jenis perbuatan pidana yang dilakukan dengan sengaja karena kekeliruan. Pertama adalah feitelijke dwaling atau kesesatan fakta. Suatu kekeliruan yang dilakukan dengan tidak sengaja yang tertuju pada salah satu unsur perbuatan pidana. Contohnya, seseorang menggunakan surat untuk suatu keperluan, tetapi dia tidak mengetahui bahwa isi surat tersebut tidak sesuai dengan faktanya. Orang ini tidak dapat dipidana karena menggunakan surat palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP, karena dia tidak mengetahui bahwa surat tersebut adalah palsu.

Kedua, rechtsdwaling atau kesesatan hukum yaitu suatu perbuatan dengan perkiraan hal itu tidak dilarang oleh undang-undang. Pada dasarnya kesesatan hukum ini tidak menghapus tuntutan pidana. Hal ini didasarkan pada adagium ignorantia leges excusat neminem yang berarti ketidaktahuan akan hukum bukan merupakan alasan pemaaf. Mengapa demikian? Adagium ini merupakan rangkalan dari adagium sebelumnya yang menyatakan nemo tus ignorare consetur atau iedereen wordt geacht de wet te kennen, yang berarti setiap orang dianggap tahu akan undang-undang (hukum). Dalam beberapa literatur, adagium ini sering disebut sebagai fiksi hukum.

Kesesatan hukum ini dibedakan menjadi kesesatan hukum yang dapat dimengerti dan kesesatan hukum yang tidak dapat dimengerti. Kedua kesesatan hukum ini merujuk pada tingkat pengetahuan dan latar belakang yang objektif dari pelaku. Jika seseorang yang berasal dari pedalaman dan pertama kali ke kota, kemudian mengendarai sepeda motor tanpa menggunakan helm karena tidak tahu ada peraturan yang mewajibkan penggunaan helm, maka kesesatan hukum demikian termasuk dalam kesesatan hukum yang dapai dimengerti. Konsekuensi lebih lanjut dari kesesatan hukum yang dapat dimengerti, dapat tidak dipertanggungjawabkan secara pidana. Namun sebaliknya, kesesatan hukum yang dilakukan oleh orang yang berlatar belakang pendidikan memadai, termasuk dalam kesesatan yang tidak dapat dimengerti dan dapat dijatuhi pidana.

Antara kesesatan fakta dan kesesatan hukum berlaku adagium regula est, juris quidem ignorantiam cuique nocere, facti vero ignorantiam non nocere. Artinya, kesesatan hukum tidak dapat membebaskan seseorang darihukuman, namun tidakdemikian dengan kesesatan fakta. Konsekuensi lebih lanjut, kesesatan fakta masih dapat membebaskan seseorang dari hukuman. Tegasnya, kesesatan fakta termasuk dalam alasan penghapus pidana.

Ketiga adalah error in persona yakni kekeliruan mengenai orang yang hendak menjadi tujuan dari perbuatan pidana, Error in persona termasuk dalam error invicibilis atau kekeliruan yang tidak dapat ditanggulangi. Sebagai misal, S ingin membunuh T. S mengira bahwa U adalah T dan kemudian S membunuh U. Perbuatan S tetap dijatuhi pidana meskipun terjadi error in persona.

Keempat adalah error in objecto atau kekeliruan mengenai objek yang hendak menjadi tujuan dari perbuatan pidana. Error in objecto inipun merupakan bagian dari error invicibilis. Contohnya, X ingin mencuri tas Y karena X yakin bahwa di dalam tas tersebut berisi uang. Ternyata setelah tas tersebut dicuri, isinya bukan uang tetapi buku. X dijatuhi pidana kendatipun terjadi error in objecto.

Di luar keempat kesesatan dalam kesengajaan masih ada apa yang disebut sebagai aberratio actus yaitu kekeliruan yang timbul karena berbagai hal sehingga akibat yang timbul berbeda atau berlainan dari yang dikehendaki.

Contohnya, ketika A hendak membunuh B dengan cara menembak peluru yang ada pada senjata apinya, namun saat peluru tersebut di tembakkan, B berhasil menghindar dan mengenai C. Terhadap A tetap dijatuhi pidana meskipun tidak menghendaki kematian C.

Jenis-Jenis Kesengajaan

1. Kesengajaan sebagai maksud

Kesengajaan sebagai maksud adalah kesengajaan untuk mencapai suatu tujuan. Artinya, antara motivasi seseorang melakukan perbuatan, tindakan dan akibatnya benar-benar teerwujud. Contoh, Y ingin membunuh Z karena Z berselingkuh dengan istrinya. Ketika Z sedang berjalan di jalan yang sepi, Y memukul bagian kepala Z dengan batu bertubi-tubi hingga tewas. Di sini, motivasi Y adalah kerena Z berselingkuh dengan istirinya. Tindakan Y memukul berkali-kali di kepala bagian belakang Z hingga mati adalah tindakan dan akibat yang memang dikehendaki.

2. Kesengajaan sebagai kepastian

Kesengajaan sebagai kepastian atau keharusan adalah kesengajaan yang menimbulkan dua akibat. Akibat pertama dikehendaki pelaku, sedangkan akibat kedua, tidak dikehendaki namun pasti atau harus terjadi.

3. Kesengajaan sebagai kemungkinan

Adakalanya suatu kesengajaan menimbulkan akibat yang tidak pasti terjadi namun merupakan suatu kemungkinan. Dalam hal yang demikian terjadilah kesengajaan dengan kesadaran akan besarnya kemungkinan.

4. Dolus Eventualis

Kesengajaan bersyarat atau dolus eventualis pada dasarnya seseorang melakukan perbuatan namun tidak menghendaki akibatnya. Dapat dikatakan bahwa meskipun seseorang tidak menghendaki akibatnya, namun perbuatan tersebut tetap dilakukan, maka dengan demikian orang tersebut harus memikul apapun resiko yang timbul.

5. Kesengajaan berwarna

Kesengajaan berwarna atau opzetgekleur adalah bahwa sescorang melakukan suatu perbuatan harus mengetahui terlebih dulu bahwa perduatan yang dilakukannya adalah suatu perbuatan pidana atau perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Di sini, seseorang tidak banya disyaratkan menghendaki adanya suatu perbuatan semata, tetapi la pun harus mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah suatu perbuatan yang melawan hukum. Penganut teori kesengajaan berwarna ini adalah Zevenbergen.

Dapatlah dibayangkan kalau setiap pelaku perbuatan pidana harus mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah suatu perbuatan terlarang, akan memberikan kerumitan tersendiri oleh penuntut umum dalam pembuktian di persidangan. Artỉnya, jika penuntut umum tidak bisa membuktikan bahwa terdakwa mengetahui perbuatan yang dilakukannya adalah perbuatan pidana, maka terdakwa dibebaskan atau dilepaskan.

6. Kesengajaan tidak berwarna

Berbeda dengan kesengajaan berwarna adalah kesengajaan tidak berwarna atau opzetkleurloos. Menurut Simons, Pompe dan Jonkers yang menganut teori ini, seseorang yang melakukan perbuatan cukup menghendaki adanya perbuatan tersebut, namun tidak perlu mengetahui apakah perbuatan yang dikehendakinya merupakan perbuatan pidana ataukah tidak. Kesengajaan tidak berwarna ini juga dianut dalam KUHP. Meskipun tidak ada pasal yang menjelaskannya, namun berdasarkan Memorie van Toelichting, dikatakan bahwa melakukan suatu perbuatan dengan sengaja, tidak memerlukan pengetahuan pelaku, apakah perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan pidana ataukah tidak.

7. Kesengajaan diobjektifkan

Kesengajaan yang diobjektifkan bukanlah jenis kesengajaan melainkan cara untuk memastikan adanya kesengajaan. Terkait kesalahan, seperti yang telah diutarakan di atas, bahwa kesengajaan dan kealpaan adalah hubungan antara sikap batin pelaku dengan perbuatan yang dilakukan. Dalam rangka untuk menentukan adanya kesengajaan bukanlah perbuatan yang mudah bagi hakim. Tidaklah dapat ditentukan secara pasti apakah seseorang melakukan perbuatan dengan sengaja ataukah tidak. Dalam hal demikian, ada tidaknya kesengajaan harus disimpulkan dari perbuatan yang tampak.

8. Dolus directus

Dolus directus adalah istilah yang menunjuk pada corak kesengajaan sebagai kepastian atau keharusan. Dolus directus ini mensyaratkan tidak hanya tingkat pengetahuan yang tinggi, namun akibat dari perbuatan tersebut meskipun tidak dikehendaki tetapi kesadaran akan keniscayaan pasti terjadi. Ada perbedaan pendapat terkait dolus directus ini. Remmelink berpendapat bahwa dolus directus sama dengan kesengajaan sebagai kepastian atau keharusan, sedangkan menurut Sudarto, dolus directus lebih pada kesengajaan sebagai maksud dan menyatakan bahwa dolus directus adalah kesengajaan yang ditujukan terhadap perbuatan dan akibat dari perbuatan tersebut.

9. Dolus indirectus

Dolus indirectus adalah kesengajaan untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang tetapi akibat yang timbul tidak dikehendaki. Sebagai misal: A menganiaya B dengan maksud hanya untuk melukai. Akibat yang timbul ternyata tidak hanya melukai melainkan kematian.

10. Dolus determinatus

Dolus determinatus bertolak dari anggapan bahwa pada hakikatnya suatu kesengajaan harus didasarkan pada objek tertentu. Anggapan yang demikian sangat masuk akal. Sebagai contoh, tidak mungkin seseorang dikatakan mencuri jika tidak ada barang yang akan dicuri. Dolus determinatus ini merupakan varian yang sudah tidak lagi digunakan dan lebih mengarah pada kesengajaan sebagai kepastian.

11. Dolus indeterminatus

Sama halnya dengan dolusdeterminatus, dolus indeterminatus juga termasuk varian yang sudah tidak lagi digunakan. Dolus indeterminatus adalah kesengajaan yang ditujukan kepada sembarang orang. Contoh sederhana adalah aksi teror berupa pengeboman di tempat umum. Kesengajaan ini tidak mempedulikan siapa yang akan mati akibat ledakan bom tersebut karena tujuannya bukanlah mengakibatkan matinya orang melainkan timbulnya rasa takut atau suasana teror. Dolus indeterminatus ini pun dapat dimasukkan ke dalam kesengajaan sebagai kepastian yang menghendaki satu akibat, namun akibat lain yang tidak dikehendaki pasti terjadi.

12. Dolus alternativus

Dolus alternativus adalah kesengajaan untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan menghendaki akibat yang satu atau akibat yang lain. Misalnya, karena dendam dengan Z, Y yang sedang mengendarai mobil menabrak Z yang sedang berjalan. Y berkehendak akibat tabrakan tersebut Z mengalami cacat atau bahkan kematian. Dalam ilustrasi ini motivasi Y sangat jelas adalah balas dendam terhadap Z Akibat yang dikehendaki tidak dipentingkan oleh Y, apakah Z akan cacat ataukah mati.

13. Dolus generalis

Pada dasarnya dolus generalis adalah kesengajaan yang ditujukan kepada seseorang namun tindakan yang dilakukan lebih dari satu untuk mencapai tujuan tersebut. Kasus ini pernah terjadi di Rotterdam yang menimpa Marcel N yang dicekik terlebih dulu kemudian dilempar ke dalam air oleh pelaku. Dokter Zeldenrust, ahli patologi – anatomi memastikah bahwa penyebab kematian bukanlah cekikan, melainkan tenggelam.

14. Dolus repentinus

Dolus repentinus atau impetus adalah kesengajaan melakukan sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba. Dalam hukum jerman, dolus repentinus dikenal dengan istilah hastemut. Artinya, kesengajaan tersebut muncul seketika dengan memperhatikan situasi dan kondisi.

15. Dolus premeditatus

Dapatlah dikatakan bahwa dolus premeditatus adalah kebalikan dari dolus repentinus. Dalam hukum Jerman, dolus premenditatus dikenal dengan istilah beratene mut. Dolus premeditatus adalah kesengajaan yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu.

16. Dolus Antecedens

Dolus antecedens diartikan sebagai kesengajaan yang ditempatkan terlalu jauh sebelum tindakan dilakukan. Contoh, pada tanggal 31 Oktober seorang suami berniat menembak istrinya saat berburu yang direncanakan pada tanggal 3 November. Ketika sedang membersihkan senapan pada tanggal 2 November, tanpa sengaja suami menembak istrinya sampai mati.

17. Dolus subsequens

Dolus subsequens adalah kesengajaan terhadap suatu perbuatan yang sudah terjadi. Contoh, karena kealpaanya, A menabrak B yang merupakan musuh A. Tindakan A menabrak B bukanlah suatu kesengajaan, namun tindakan membiarkan B tergeletak begitu saja dan tidak memberikan pertolongan adalah suatu kesengajaan karena mengetahui bahwa B adalah musuhnya.

18. Dolus malus

Dolus malus diartikan kesengajaan yang dilakukan dengan niat jahat. Dolus malus ini pertama kali dituangkan dalam Beirse Wetboek 1813 yang dibaut oleh von Feuerbach yang pada intinya seseorang yang melakukan perbuatan pidana dan dapat dipidana hanya karena orang tersebut memahami bahwa perbuatan yang dilakukan adalah yang dilarang oleh undang-undang.[1]

Demikianlah pembahasan kesengajaan dan jenis-jenis kesengajaan.

Referensi:

Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-Pirinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta: 2016, hlm. 168-183.
Marinus Lase
Marinus Lase Hai saya Marinus!

Post a Comment for "Kesengajaan (Dolus) dan Jenis-Jenis Kesengajaan"