Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ANALISIS PELECEHAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN PENDIDIKAN PERSPEKTIF HANS KELSEN

 

ANALISIS PELECEHAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN PENDIDIKAN PRESPEKSTIF PEMIKIRAN HANS KELSEN

 

Nama : Marinus Lase

NIM : 1809111946

 

ABSTRAK

            Hukum dibentuk dengan tujuan untuk melindungi kepentingan manusia dan menghindari kesewenganan dari penguasa agar tegaknya supermasi hukum. Segala kepentingan manusia dalam hidup bermasyarakat harus di atur oleh hukum. Hukum di Indonesia adalah hukum tertulis atau hukum posisitif. Di mana hukum yang berlaku adalah hanya hukum tertulis. Dengan demikian, hukum adat atau kebiasaan masyarakat bukanlah hukum. Hukum tertulis ini sejalan dengan aliran positivisme hukum. Di mana positivisme hukum identik dengan hukum tertulis. 

            Dalam pandangan Hans Kelsen, hukum harus dipisahkan dari segala pengaruh faktor-faktor hukum alam, ideologi, sosiologi, dan semua faktor-faktor lain yang bersifat nonhukum. Akhir-akhir ini banyak kasus-kasus pelecehan seksual di lingkungan pendidikan, mulai dari sekolah hingga kampus. Para pelaku pelecehan seksual berasal dari guru atau dosen. Di mana korbannya adalah siswa atau mahasiswa dari guru atau dosen tersebut. Namun, belum ada aturan yang memberikan sanksi yang tegas atas pelecehan seksual di lingkungan pendidikan.

A. PENDAHULUAN

            Hukum dibentuk dengan tujuan untuk melindungi kepentingan manusia dan menghindari kesewenganan dari penguasa agar tegaknya supermasi hukum. Segala kepentingan manusia dalam hidup bermasyarakat harus di atur oleh hukum.[1] Hukum memiliki posisi yang fundamental dalam sistem sebuah negara, sehingga dapat dikatakan bahwa stabilitas suatu negara dapat diukur dari kualitas sistem dan penerapan hukum yang berlaku pada negara tersebut. Pada dasarnya hukum memiliki kaitan yang erat dengan hakikat kemanusiaan.[2]

            Definisi hukum dapat dinyatakan sebagai “sekumpulan aturan-aturan umum yang ditetapkan oleh penguasa masyarakat politik (negara) terhadap anggota-anggota masyarakat tersebut yang secara umum mematuhinya”. Atau juga, definisi hukum adalah “suatu perintah yang dikeluarkan orang yang ditunjuk untuk itu atau oleh sekelompok orang yang bertindak sebagai suatu badan, untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan-tindakan tertentu, yang disertai dengan suatu maklumat, secara langsung atau tak langsung, tentang hukuman yang akan diberikan kepada siapa saja yang tidak mematuhinya.[3]

            Sistem hukum Indonesia berasal dari keluarga sistem hukum kontinental (Civil Law System). Pada umumnya para ahli hukum keluarga sistem hukum civil law, lebih mengarah kepada “law as it is written in the books”. Pola seperti ini makin mendapat penguatan pada abad ke-19, yakni setelah Hans Kesen memperkenalkan Ajaran Hukum Murni (Reine Rechtslehre). Civil Law adalah sistem yang dikodifikasi, hukum dasar dituangkan dalam kitab undang-undang (codes). Kitab undang-undang ini adalah undang-undang (statutes) atau lebih merupakan undang-undang tertinggi (seperstatutes) yang disahkan oleh parlemen nasional yang menyusun seluruh bidang hukum secara berurutan, logis, dan konprehensif.[4]

            Hukum di Indonesia adalah hukum tertulis atau hukum posisitif. Di mana hukum yang berlaku adalah hanya hukum tertulis. Dengan demikian, hukum adat atau kebiasaan masyarakat bukanlah hukum. Hukum tertulis ini sejalan dengan aliran positivisme hukum. Di mana positivisme hukum identik dengan hukum tertulis (peraturan perundang-udangan). 

            Aliran positivisme hukum atau juga dikenal dengan aliran legitimisme yang berkembang pada abad ke-19 setelah kepercayaan kepada ajaran hukum alam yang rasionalistik ditinggalkan orang, sebagai akibat pengaruh aliran cultuur historisch school. Prinsip utama aliran positivisme adalah pertama hukum yang ditetapkan dalam undang-undang, maka hanya peraturan perundang-undangan yang disebut hukum. Kedua, hukum kebiasaan tidak dapat diterima sebagai hukum yang sungguh-sungguh. Sehingga, aliran positivisme sangat menggaungkan hukum tertulis, dan beranggapan tidak ada norma hukum di luar hukum positif.[5]

            Hukum pidana di Indoneisa di atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan peraturan khusus hukum pidana lainnya yang memiliki sanksi pidana. Hukum bertujuan untuk melindungi masyarakat, sehingga dalam hukum pidana terdapat norma-norma perbuatan yang dilarang dan memiliki sanksi pidana. Dalam melindungi masyarakat dari tindakan kejahatan, maka perlulah hukum pidana yang sesuai dengan kepentingan masyarakat.

            Akhir-akhir ini banyak kasus-kasus pelecehan seksual di lingkungan pendidikan, mulai dari sekolah hingga kampus. Para pelaku pelecehan seksual berasal dari guru atau dosen. Di mana korbannya adalah siswa atau mahasiswa dari guru atau dosen tersebut. Kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kampus misalnya di alami salah satu mahasiswa dari Universitas Riau yang dilecehkan oleh Dosen pembimbingnya yang juga merupakan seorang Dekan FISIP UNRI. Kemudian pelecehan seksual juga di alami oleh mahasiswa Universitas Sriwijaya yang dilakukan oleh Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya. Selanjtunya, pelecehan seksual di lakukan oleh Guru Agama Sekolah Dasar  di Kecamatan  Patimuan, Cilacap, Jawa Tengah kepada 15 siswi yang masih di bawah umur.

            Dalam hukum positif sanksi pidana atas perbuatan cabul telah di atur dalam KUHP yaitu Pasal 289 hingga Pasal 296 KUHP. Kemudian juga di atur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi. Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis ingin menganalisis pelecehan seksual di lingkungan pendidikan prespekstif pemikiran hans kelsen.

B. Hans Kelsen Dan Konsep Berpikir Hans Kelsen

1. Hans Kelsen

            Hans Kelsen dilahirkan dari pasangan kelas menengah Yahudi berbahasa Jerman di Prague pada tanggal 11 Oktober 1881. Saat berusia tiga tahun, Kelsen dan keluarganya pindah ke Wina dan menyelesaikan masa pendidikannya. Kelsen adalah seorang agnostis, namun pada tahun 1905 Kelsen pindah agama menjadi Katolik demi menghindari masalah integrasi dan kelancaran karir akademiknya. Namun identitas Kelsen sebagai keturunan Yahudi tetap saja mendatangkan banyak masalah dalam hidupnya. Kelsen pada awalnya adalah pengacara publik yang berpandangan sekuler terhadap hukum sebagai instrumen mewujudkan kedamaian. Pandangan ini diinspirasikan oleh kebijakan toleransi yang dikembangkan oleh rezim Dual Monarchy di Habsburg.

            Sejak kecil Kelsen sesungguhnya lebih tertarik pada bidang ilmu klasik dan humanisme seperti filsafat, sastra, logika, dan juga matematika. Ketertarikan inilah yang sangat mempengaruhi karya-karyanya kemudian. Tahun 1906 Kelsen memperoleh gelar Doktor di bidang hukum. Pada tahun 1905 Kelsen menerbitkan buku pertamanya berjudul Die Staatslehre des Dante Alighieri. Pada tahun 1908 dia mengikuti seminar di Heidelberg yang diselenggarakan oleh George Jellinek. Tahun 1911 mengajar di University of Vienna untuk bidang hukum publik dan filsafat hukum dan menyelesaikan karya Hauptprobleme der Staatsrechtslehre. Pada tahun 1914 Kelsen menerbitkan dan menjadi editor the Austrian Journal of Public Law.

            Selama perang dunia pertama, Kelsen menjadi penasehat untuk departemen militer dan hukum (military and justice administration). Tahun 1918 dia menjadi associate professor di bidang hukum pada University of Vienna dan tahun 1919 menjadi profesor penuh di bidang hukum publik dan hukum administrasi. Pada tahun 1919, saat berakhirnya monarkhi Austria, Chancellor pemerintahan republik pertama, Karl Renner, mempercayai Kelsen menjadi penyusun konstitusi Austria. Hal ini karena kedekatan Kelsen dengan Partai Sosial Demokrat (Social Democratic Party/SDAP) meskipun secara formal Kelsen tetap netral karena tidak pernah menjadi anggota partai politik.

            Kelsen, sebagai research associate, mengajar di Harvard University tahun 1940 sampai tahun 1942. Pada tahun 1942, dengan dukungan Roscoe Pound yang mengakui Kelsen sebagai ahli hukum dunia, Kelsen menjadi visiting professor di California University, Barkeley, namun bukan di bidang hukum, tetapi di departemen ilmu politik. Dari tahun 1945 sampai 1952 menjadi profesor penuh, dan pada tahun 1945 itulah Kelsen menjadi warga negara Amerika Serikat dan menjadi penasehat pada United Nation War Crimes Commission di Washington dengan tugas utama menyiapkan aspek hukum dan teknis pengadilan Nuremberg. Dia juga menjadi visiting professor di Geneva, Newport, The Hague, Vienna, Copenhagen, Chicago, Stockholm, Helsinkfors, dan Edinburg. Kelsen memperoleh 11 gelar doktor honoris causa dari Utrecht, Harvard, Chicago, Mexico, Berkeley, Salamanca, Berlin, Vienna, New York, Paris dan Salzburg. Ia tetap aktif dan produktif setelah pensiun pada tahun 1952. Kelsen ting- gal di Amerika Serikat hingga akhir hayatnya pada tahun 1973. Kelsen meninggal di Barkeley, 19 April 1973 pada usia 92 tahun dengan meninggalkan karya.[6]

2. Konsep Berpikir Hans Kelsen

            Jika dilihat karya-karya yang dibuat oleh Hans Kelsen, pemikiran yang dikemukakan meliputi tiga masalah utama, yaitu tentang teori hukum, negara, dan hukum internasional. Ketiga masalah tersebut sesungguhnya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya karena saling terkait dan dikembangkan secara konsisten berdasarkan logika hukum secara formal. Logika formal ini telah lama dikembangkan dan menjadi karakteristik utama filsafat Neo-Kantian yang kemudian berkembang menjadi aliran strukturalisme. Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu.

            Friedmann mengungkapkan dasar-dasar esensial dari pemikiran Kelsen sebagai berikut :

1.      Tujuan hukum, seperti tiap ilmu pengetab untuk mengurangi kekacauan dan kemajemu kesatuan.

2.      Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang scharusnya.

3.      Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.

4.      Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.

5.      Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.

            Pendekatan yang dilakukan oleh Kelsen disebut The Pure Theory of Law, mendapatkan tempat tersendiri karena berbeda dengan dua kutub pendekatan yang berbeda antara mahzab hukum alam dengan positivisme empiris. Beberapa ahli menyebut pemikiran Kelsen sebagai jalan tengah dari dua aliran hukum yang telah ada sebelumnya.

            Empirisme hukum melihat hukum dapat direduksi sebagai fakta sosial. Sedangkan Kelsen berpendapat bahwa interpretasi hukum berhubungan dengan norma yang non empiris. Norma tersebut memiliki struktur yang membatasi interpretasi hukum. Di sisi lain, berbeda dengan mahzab hukum alam, Kelsen berpendapat bahwa hukum tidak dibatasi oleh pertimbangan moral. Tesis yang dikembangkan oleh kaum empiris disebut dengan the reductive thesis, dan antitesisnya yang dikembangkan oleh mahzab hukum alam disebut dengan normativity thesis.[7]

            Dalam perspektif normatif, pembahasan keberlakuan hukum secara teoretik maupun keberlakuan hukum dalam ranah implementasi didasarkan pada cara berpikir deduktif, dimana keberlakuan sebuah aturan hukum harus dilandaskan pada keberlakuan hukum yang lebih tinggi, terus dilandaskan pada aturan hukum yang lebih tinggi lagi, hingga sampailah pada sumber yang bersifat meta yuridis. Dasar keberlakuan yang disebut bersifat meta-yuridis itu berupa nilai-nilai (values) yang bersifat abstrak. Nilai-nilai (values) merupakan penuntun apa yang baik dan buruk, apa yang benar dan apa yang salah sehingga harus dilakukan atau dijauhi manusia. Itulah logika hukum yang diperkenalkan oleh Hans Kelsen.[8]

          Hans Kelsen, sebagai tokoh positivisme hukum menjelaskan hukum dalam paparan sebagai berikut: Hukum merupakan sistem norma, sebuah sistem yang didasarkan pada keharusan-keharusan (apa yang seharusnya atau das sollen). Bagi Hans Kelsen, norma merupak produk pemikiran manusia yang sifatnya deliberatif. Sesuatu menjadi sebuah norma kalau memang dikehendaki menjadi norma, yang penentuannya dilandaskan pada moralitas maupun nilai-nilai yang baik. Menurutnya, pertimbangan-pertimbangan yang melandasi sebuah norma bersifat metayuridis. Sesuatu yang bersifat metayuridis tersebut bersifat das sollen, dan belum menjadi hukum yang berlaku mengikat masyarakat. Singkatnya, bagi Hans Kelsen, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak. Norma-norma tersebut akan menjadi mengikat masyarakat, apabila norma tersebut dikehendaki menjadi hukum dan harus dituangkan dalam wujud tertulis, dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan memuat perintah. Pendapat Hans Kelsen ini mengindikasikan pikirannya bahwa positivisme hukum menganggap pembicaraan moral, nilai-nilai telah selesai dan final manakala sampai pada pembentukan hukum positif.[9]

            Menurur Hans Kelsen, sumber pedoman-pedoman obyektif diatur dalma grundnorm. Grundnorm merupakan syarat transcendental-logis bagi berlakunya seluruh tata hukum. Seluruh tata hukum harus berpedoman secara hierarki pada grundnorm setiap orang harus menyesuaikan diri dengan apa yang telah ditentukan oleh grundnorm, pandangan ini lebih menitikberatkan pada yuridis normatif yang sejalan dengan teori positivisme.[10]

            Hukum selalu merupakan hukum positif, dan positivisme hukum terletak pada fakta bahwa hukum itu dibuat dan dihapuskan oleh tindakan manusia, terlepas dari moralitas dan sistem-sistem norma itu sendiri.[11] Hukum positif pada dasarnya merupakan suatu tatanan pemaksa. Berbeda dari aturan-aturan hukum alam, aturan-aturan hukum positif bersumber dari kehendak arbitrer otoritas manusiawi dan karena alasan ini, semata-mata karena sifat sumbernya, aturan itu tidak bisa menjadi jelas dengan sendirinya. Kandungan aturan hukum positif tidak memiliki “kepastian” diri yang hanya dimiliki hukum alam karena sifat sumbernya. Aturan hukum positif tidak memberikan ketetapan akhir atas relasi-relasi sosial. Aturan itu memberikan kemungkinan bahwa relasi-relasi ini bisa juga sebaliknya ditentukan oleh aturan hukum positif yang lain, baik secara bergantian oleh aturan hukum positif yang sama atau secara bersamaan oleh aturan otoritas hukum yang lain.[12]

            Hans Kelsen mengatakan teori hukum murni adalah teori hukum positif. Ia merupakan teori tentang hukum positif umum, bukan tentang tatanan hukum khusus. Ia merupakan teori hukum umum, bukan penafsiran tentang norma hukum nasional atau internasional tertentu; namun ia menyajikan teori penafsiran.[13] Sebagai sebuah teori, ia terutama dimaksudkan untuk mengetahui dan menjelaskan tujuannya. Teori ini berupaya menjawab pertanyaan apa itu hukum dan bagaimana ia ada, bukan bagaimana ia semestinya ada. Ia merupakan ilmu hukum (yurisprudensi); bukan politik hukum. Ia disebut teori hukum “murni” lantaran ia hanya menjelaskan hukum dan berupaya membersihkan objek penjelasannya dari segala hal yang tidak bersangkut-paut dengan hukum. Yang menjadi tujuannya adalah membersihkan ilmu hukum dari unsur-unsur asing. Inilah landasan metodologis dari teori itu.[14]

            Menurut Jimly Asshiddiqie, teori murni tentang hukum (pure theory of law) Hans Kelsen dapat dikatakan berhasil menempatkan ilmu hukum dalam posisi yang sangat eksklusif sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan yang tersendiri. Bahwa setiap norma hukum bersifat eksklusif dan positivis, tidak dipengaruhi oleh dinamika di luar hukum, seperti nilai moral, politik , ekonomi, ataupun sosial, apalagi oleh faktor-faktor yang bersifat metafisis, dan bahkan teologis. Oleh sebab itu, teori hukum murni ini berkaitan erat dengan pandangan Hans Kelsen mengenai deideologisasi hukum positif. Positivisme Hans Kelsen sangat kaku dan menolak segala pengaruh faktor-faktor hukum alam, ideologi, sosiologi, dan semua faktor-faktor lain yang bersifat nonhukum.[15]

            Hans Kelsen mengatakan bahwa negara itu sebenarnya adalah merupakan suatu tertib hukum. Tertib hukum timbu karena diciptakannya peraturan-peraturan hukum yang menentukan bagaimana orang di dalam masyarakat atau negara itu harus bertanggungjawab terhadap perbuatan-perbuatannya. Peraturan-peraturan hukum tadi sifatnya adalah mengikat. Artinya bahwa setiap orang itu harus mentaatinya, dan harus menyesuaikan sikap, tingkah laku dan perbuatannya itu dengan peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Orang dapat dipaksakan untuk mentaatinya, karana jika tidak mentaatinya ia dapat dijathui sanksi. Jadi negara itu adalah suatu tertib hukum yang memaksa.[16]

C. POSISI KASUS

            Seorang mahasiswi Universitas Riau berinisial L diduga mengalami pelecehan seksual oleh dosen pembimbing skripsinya.  Terduga pelaku yang juga dosen L tersebut adalah Dekan Fakultas FISIP Universitas Riau bernama Syafri Harto. Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional (HI) itu mengaku dicium pipi dan keningnya oleh terduga pelaku. Peristiwa itu terjadi pada Rabu (28/10/2021), sekitar pukul 12.30 WIB. Korban saat itu datang menemui Syafri Harto untuk bimbingan skripsi. Saat bimbingan, korban hanya berdua dengan terduga pelaku. Korban kemudian menyerahkan proposal skripsinya.

            Setelah bimbingan, korban mengaku dipegang pundaknya oleh dosen tersebut. Setelah itu, korban hendak keluar ruangan Syafri Harto. Tak sampai di situ, korban menyebut terduga pelaku mencium pipi dan keningnya. Usai kejadian itu, korban menghubungi seorang dosen untuk membantu menemui kepala jurusan. Korban meminta keadilan atas kasus yang menimpanya. Jumat (5/11/2021) sore, korban melaporkan Dekan FISIP Universitas Riau, Syafri Harto ke Polresta Pekanbaru atas kasus dugaan pelecehan seksual. Korban melapor didampingi ibu, tante dan sejumlah anggota BEM Universitas Riau. Pihak kepolisian sudah menerima laporan korban, dan melakukan penyelidikan.

            Dekan Fakultas FISIP Universitas Riau, Syafri Harto membantah melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswinya. Saat konferensi pers bersama istrinya di Pekanbaru, Syafri Harto bahkan menjelaskan kejadian pada Rabu (28/11/2021 siang itu. Ia mengatakan, dirinya bertemu dengan mahasiswi L di ruangan pembantu dekan (PD), karena ruangannya sedang di renovasi

            Ia mengaku sebelumnya belum pernah ketemu secara fisik dengan L. Saat bimbingan, Syafri menerima dan membaca proposal L. Syafri kemudian menawarkan, apakah L sudah sanggup seminar proposal, akan di acc. Namun, korban mengaku menyelesaikan skripsi sambil kerja. “Saya bilang kalau mau acc proposalnya, saya baca dulu dua sampai tiga hari ke depan. Karena masih ada kegiatan lain, terus saya bilang kalau mau bimbingan buat pdf proposalnya kirim ke WA (WhatsApps) saya”.

            Setelah itu, Syafri bertanya apa pekerjaan L. Lalu, L menjawab kerja membantu tantenya. Korban di Pekanbaru tinggal bersama tantenya. Orang tuanya tinggal di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. "Dia tiba-tiba nangis pas cerita tentang keluarganya. Katanya adik tak kuliah, orangtuanya sakit. Saya bilang jangan nangis, harus semangat," kata Syafri. Ia merekonstruksikan kejadian seperti yang dituduhkan oleh L. Begitu L berdiri dan hendak keluar ruangan, bersalaman dengan Syafri. “Di situ ada sofa, agak sempat untuk lewat. Terus saya pegang pundaknya dari depan sebagai bentuk perihatin. Saya bilang jangan lemah, harus kuat. Saya sudah anggap dia seperti anak sendiri”, sebut Syafri. [17]

            Kasus pelecehan seksual selanjutnya adalah pelecehan seksual yang dilamai tiga mahasiswa universitas Sriwijaya. Tiga mahasiswi Universitas Sriwijaya (Unsri) di Palembang, Sumatera Selatan diduga dilecehkan secara seksual dan verbal oleh dua dosennya sendiri. Mereka dilecehkan saat mengurus skripsi di kampus. Salah satu korban adalah DR. Kasus pelecehan ini terungkap di publik setelah DR menulis cuitan di Twitter dengan akun anonim dan mengaku dilecehkan oleh dosen. Saat menulis cuitan, DR tak menyebut identitas dirinya sendiri dan maupun identitas pelaku. Belakangan diketahui jika dosen tersebut adalah A.

            Sebelum pelecahan terjadi, korban menemui pelaku untuk bimbingan skripsi. Oknum dosen kemudian menanyakan penyebab korban menunda skripsi satu semester. Karena didesak, DR bercerita permasalahannya mulai dari masalah keluarga hingga ekonomi. Ia pun mennagis dan tanpa diduga pelaku memeluk korban dengan dalih ikut simpati. Awalnya korban tak menaruh curiga, namun ia kemudian dicabuli oleh dosennya sendiri.

            Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sempat memberikan pendampingan kepada DR agar pihak rektorat segera mengambil tindakan. Dua bulan berjalan, DR memilih melaporkan A ke polisi karena tak ada titik terang dalam mediasi yang dilakukan pihak Unsri. Lambannya laporan DR masuk ke Polisi lantaran korban awalnya tak memiliki keberanian terhadap A. Namun saat tahu ada dua korban lainnya, DR berani melaporkan kasus tersebut ke polisi.

            Dari hasil olah TKP pada Rabu (1/12/2021), diketahui pelecehan terjadi di ruang Laboratorium Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Unsri di Indralaya, Sumatera Selatan. Saat olah TKP, korban DR menjelaskan ruangan tersebut mengalami perubahan posisi furniture. “Di sini ada meja, lalu sofa itu ada di sebelah sana,” kata korban sambil menutup wajahnya dengan kerudung hitam Rabu (1/12/2021). Korban bercerita saat datang ia diminta duduk di bangku yang behadapan dengan dosen.

            “Saya duduk di sini, dia duduk di sana,” katanya sembari mempraktekan posisi di mana ia duduk berhadapan dengan oknum yang diperagakan oleh salah seorang polisi. Pelaksanaan olah TKP sendiri berlangsung mengharukan. Berulang kali korban menutup muka dengan tangan meski wajahnya sudah tertutup kerudung warna hitam sembari meminta jangan direkam. ‘Jangan direkam, jangan direkam,” teriak korban sambil menangis. Polisi terpaksa menenangkan korban supaya mau melanjutkan olah TKP.

            Korban kembali menangis saat mempraktekkan pelaku memintanya memegangi kemaluannya dan menariknya ke sofa yang ada di sudut ruangan. “Pelaku memaksa korban memegang kemaluannya hingga orgasme, pelaku juga sempat membersikan tangan korban yang penuh bekas sperma dengan menggunakan tisu,” kata Kompol Masnoni. Menurutnya peristiwa tersebut terjadi pada pagi hari, sekitar pukul 9 pagi. “Ya mereka di dalam ruangan ini antara 12-15 menit,” tambah Masnoni. Ia juga mengatakan salah satu bukti pelecehan seksual adalah percakapan WhatsApp yang berisi kata-kata cabul.

            “Terlapor mengajak korban untuk berhubungan badan. Kata-kata di chat itu juga seakan merendahkan martabatnya. Korban ada dua, pelakunya satu, oknum dosen juga,” ujar Masnoni. Tak hanya DR, masih ada 2 mahasiswi lain yang mengalami pelecehan seksual secara verbal. Awalnya terduga pelaku disebut staf kampus Unsri. Namun belakangan diketahui pelaku adalah seorang dosen. “Kedua korban ini dilecehkan oleh terlapor dengan mengumbar kata-kata tak pantas dan cabul,” ujar Masnoni.[18]

            Kasus berikutnya adalah Pelecehan seksual yang dilakukan oleh guru agama sekolah dasar  kepada anak didiknya. Guru agama berinisial MAYH (51) di salah satu sekolah dasar (SD) di Kecamatan Patimuan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, telah mencabuli anak didiknya sendiri sebanyak 15 orang. Dalam beraksi, pelaku memilih jam istirahat di dalam kelas saat suasana sepi.

            Terungkapnya kasus ini setelah salah satu orangtua korban berinisial RA (9), melapor kepada polisi pada tanggal 27 November 2021. Dari laporan satu korban ini, polisi melakukan penyelidikan. Ternyata, korbanya lebih dari satu orang. “Setelah pengembangan, kami cek teman-temannya ternyata mengalami hal serupa. Total jadi 15 anak, ada yang satu kelas, ada yang lain kelas,” ujar Rifeld. Hasil pemeriksaan, pelaku telah melakukan aksinya selama tiga bulan terakhir sejak September silam. “Pengakuannya sejak September 2021. Alasannya karena hasrat seksual,” kata Rifeld.

            Tersangka merayu para korban yang masih di bawah umur dengan iming-iming akan diberi nilai yang bagus. “Saat jam istirahat korban diminta tetap di dalam kelas. Tersangka kemudian melakukan perbuatan itu dengan iming-iming akan memberi nilai bagus dalam hal pendidikan agama,” kata Rifeld. Terkait alasan hasrat seksual, menurut Rifeld, tersangka sebenarnya telah berkeluarga dan memiliki anak. Sementara itu, ketika ditanya wartawan, tersangka mengelak mengiming-imingi korban akan memberi nilai bagus.[19]

D. ANALISIS

            Istilah pelecehan seksua tidak terdapat dalam KUHP. Dalam KUHP hanya terdapat perbuatan cabul yang di atur dalam  Pasal 289-296. Menurut Erdianto, Perbuatan cabul adalah perbuatan yang pada umumnya diartikan sebagai perbuatan yang tidak senonoh yang berhubungan dengan alat kelamin. Menurut R. Soesilo, yang dimaksud perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya, cium-cium, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya.[20]

            Istilah pelecehan seksual terdapat dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Pasal 12 ayat (1) RUU ini mengatakan bahwa Pelecehan seksual adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan.

            Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi, merumuskan bahwa Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.

            Lebih lanjut dirumuskan dalam Pasal 5 ayat (1), Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Jika dibandingkan istilah perbuatan cabul yang terdapat dalam KUHP dan yang terdapat dalam RUU PKS dan PERMENDIKBUDRISTEK Nomor 30 Tahun 2021, istilah pelecehan seksual lebih luas daripada istilah perbuatan cabul.

            Melihat maraknya pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan baik di sekolah maupun di perguruan tinggi, sudah saatnya ada sanksi pidana atas perbuatan pelecehan seksual. Delik cabul yang terdapat dalam KUHP masih bersifat perbuatan yang mengarah kepada kekerasan seksual secara fisik, namun kekerasan seksual yang mengarah pada pisikis masih belum di akomodir oleh KUHP.

            Dalam pandangan Hans Kelsen, hukum berurusan dengan bentuk (forma), bukan (materia). Jadi, keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum. Suatu hukum dengan demikian dapat saja tidak adil, tetapi ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa.[21] Untuk menjadi “hukum”, sehingga teori menerimanya, sistem negara positif harus memberikan beberapa perhatian pada keadilan, memastikan menjadi minimum etis, mengusahakan, meskipun tidak memadai, menjadi hukum yang “benar”, yaitu hukum yang adil. Untuk menjadi “hukum” hukum positif harus menyesuaikan beberapa ukuran, meskipun sedikit, dengan konsep hukum, dengan keadilan.[22]

            Melihat banyaknya kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan sudah seharunya lembaga legislatif membentuk undang-undang khusus yang memberikan sanksi pidana yang lebih berat atas pelecehan seksual yang terjadi dalam lingkungan pendidikan. Sehingga, dapat memberikan efek jera kepada para pelaku pelecehan seksual terutama di lingkungan pendidikan. Hukum Indonesia sangatlah positivistik, sehingga para hakim tidak bebas menjatuhkan vonis kepada para pelaku pelecehan seksual. Maka, perlulah undang-undang khusus pelecehan seksual yang memberikan sanksi pidana yang lebih berat atas pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan.

E. KESIMPULAN

            Berdasarkan pemikiran Hans Kelsen yang menolak segala pengaruh faktor-faktor hukum alam, ideologi, sosiologi, dan semua faktor-faktor lain yang bersifat nonhukum. Maka, pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan harus terumus dalam suatu peraturan perundang-undangan. Sehingga, para pelaku pelecehan seksual di lingkungan pendidikan mendapatkan sanksi pidana yang berat dan memberikan efek jera kapada para pelaku dan menjadi upaya preventif terhadap terjadinya pelecehan seksual di lingkungan pendidikan. Apabila, tidak undang-undang khusus pelecehan seksual, maka hakim akan sulit memberikan sanksi yang berat atas para pelaku pelecehan seksual. KUHP masih belum mengakomodir kekerasan seksual secara psikis, maka perlulah undang-undang khusus untuk pelecehan seksual.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Aburaera, Sukarno, Muhadar dan Maskun, 2015, Filsafat Hukum Teori Dan Praktik, Prenadamedia Group, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly, 2020, Teori Hierarki Norma Hukum, Penerbit Konstitusi Press (Konpress), Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

Effendi, Erdianto, 2019, Delik-Delik Populer Di Tengah Masyarakat, Taman Karya, Pekanbaru.

Effendi, Marwan, 2014, Teori Hukum Dari Prespektif kebijakan, Perbandingan Dan Harmonisasi Hukum Pidana, Referensi (Gaung Persada Press Group), Jakarta.

Firdaus, Emilda dan Zainul Akmal, 2020, Hukum Tata Negara, Taman Karya, Pekanbaru.

Hutagalung, Sopar Maru, 2013, Kontrak Bisnis DI ASEAN Pengaruh Sistem Hukum Common Law Dan Civil Law, Sinar Grafika, Jakarta.

Kelsen, Hans, 2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, (Terjemahan Raisul Muttaqien), Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, Bandung.

                      , 2007, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, (Terjemahan Raisul Muttaqien), Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, Bandung.

                      , 2019, Pengantar Teori hukum, (Terjemahan Siwi Purwandari), Penerbit Nusa Media, Bandung.

Soehino, 2008, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta.

Strong, C. F., 2015, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern Studi Perbandingan Tentang Sejarah Dan Bentuk, (Terjemahan Derta Sri Widowatie), Nusa Media, Bandung.

Tutik, Titik Triwulan, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustakaraya, Jakarta.

Yusuf, Muhammad, 2013, Merampas aset Koruptor Solusi Pemberantasan Korupsi DI Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

B. Jurnal

FX. Adji Samekto, 2019, “Menelusuri Akar Pemikiran Hans Kelsen Tentang Stufenbeautheorie Dalam Pendekatan Normatif Filosofis”, Jurnal Hukum Progresif, Doktor Hukum Universitas Diponegoro, Vol. 7, No. 1, April.

Putera Astomo, 2014, “Perbandingan Pemikiran Hans Kelsen Tentang Hukum Dengan Gagasan Satjipto Rahardjo Tentang Hukum Progresif Berbasis Teori Hukum”, Yustisia,  Edisi 90, September - Desember.

C. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.

D. Website

https://regional.kompas.com/read/2021/11/06/152032078/cerita-lengkap-kasus-mahasiswi-universitas-riau-mengaku-dicium-dosen-saat?page=all

https://regional.kompas.com/read/2021/12/04/074700878/terbongkar-dari-cuitan-twitter-mahasiswi-unsri-dilecahkan-oknum-dosen-saat?page=all

https://regional.kompas.com/read/2021/12/11/053300678/6-fakta-guru-agama-cabuli-15-siswi-sd-di-cilacap-sampai-korban-trauma?page=all


[1] Emilda Firdaus dan Zainul Akmal, Hukum Tata Negara, Taman Karya, Pekanbaru: 2020, hlm. 1.

[2] Muhammad Yusuf, Merampas aset Koruptor Solusi Pemberantasan Korupsi DI Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2013, hlm. 35.

[3] C. F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern Studi Perbandingan Tentang Sejarah Dan Bentuk, (Terjemahan Derta Sri Widowatie), Nusa Media, Bandung: 2015, hlm. 7.

[4] Sopar Maru Hutagalung, Kontrak Bisnis DI ASEAN Pengaruh Sistem Hukum Common Law Dan Civil Law, Sinar Grafika, Jakarta: 2013, hlm. 30.

[5] Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustakaraya, Jakarta: 2006, hlm. 154.

[6] Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta:2006,  hlm. 1-4.

[7] Ibid., 8-9.

[8] FX. Adji Samekto, “Menelusuri Akar Pemikiran Hans Kelsen Tentang Stufenbeautheorie Dalam Pendekatan Normatif Filosofis”, Jurnal Hukum Progresif, Doktor Hukum Universitas Diponegoro, Vol. 7, No. 1, April 2019, hlm. 5.

[9] Putera Astomo, “Perbandingan Pemikiran Hans Kelsen Tentang Hukum Dengan Gagasan Satjipto Rahardjo Tentang Hukum Progresif Berbasis Teori Hukum”, Yustisia,  Edisi 90, September - Desember 2014, hlm. 7.

[10] Marwan Effendi, Teori Hukum Dari Prespektif kebijakan, Perbandingan Dan Harmonisasi Hukum Pidana, Referensi (Gaung Persada Press Group), Jakarta: 2014,  hlm. 21.

[11] Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, (Terjemahan Raisul Muttaqien), Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, Bandung: 2006, hlm. 164.

[12] Ibid., hlm. 553.

[13] Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, (Terjemahan Raisul Muttaqien), Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, Bandung: 2007, hlm. 1.

[14] Ibid.

[15] Jimly Asshiddiqie, Teori Hierarki Norma Hukum, Penerbit Konstitusi Press (Konpress), Jakarta: 2020, hlm.  26.

[16] Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta: 2008, hlm. 140.

[17] https://regional.kompas.com/read/2021/11/06/152032078/cerita-lengkap-kasus-mahasiswi-universitas-riau-mengaku-dicium-dosen-saat?page=all

[18] https://regional.kompas.com/read/2021/12/04/074700878/terbongkar-dari-cuitan-twitter-mahasiswi-unsri-dilecahkan-oknum-dosen-saat?page=all

[19] https://regional.kompas.com/read/2021/12/11/053300678/6-fakta-guru-agama-cabuli-15-siswi-sd-di-cilacap-sampai-korban-trauma?page=all

[20] Erdianto Effendi, Delik-Delik Populer Di Tengah Masyarakat, Taman Karya, Pekanbaru: 2019, hlm. 153.

[21] Sukarno Aburaera, Muhadar dan Maskun, Filsafat Hukum Teori Dan Praktik, Prenadamedia Group, Jakarta: 2015, hlm. 109.

[22] Hans Kelsen, Pengantar Teori hukum, (Terjemahan Siwi Purwandari), Penerbit Nusa Media, Bandung: 2019, hlm. 54.

Marinus Lase
Marinus Lase Hai saya Marinus!

Post a Comment for "ANALISIS PELECEHAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN PENDIDIKAN PERSPEKTIF HANS KELSEN"